20ASBABUN-NUZUL
1. Pengertian Asbabun Nuzul
Ungkapan asbabun-nuzul merupakan bentuk idhofah dari asbab dan nuzul. Secara etimologi artinya sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya sesuatu. Menurut Az-zargani Asbabuan-nuzul adalah sesuatu yang terjadi serta hubungan dengan turunya ayat Al-qur’an yang berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.
2. Bentuk-Bentuk Asbabun Nuzul
a. Bentuk peristiwa, maka turunlah ayat Quran mengenai peristiwa itu.
Hal itu seperti diriwayatkan dari Ibn Abbas, yang mengatakan : Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. naik ke Bukit Shafa sambil berseru: "Mari berkumpul pada pagi hari ini!" Maka berkumpullah kaum Quraisy. Rasulullah bersabda: "Bagaimana pendapat kalian, seandainya aku beritahu bahwa musuh akan datang besok pagi atau petang, apakah kalian percaya kepadaku?" Kaum Quraisy menjawab: "Pasti kami percaya." Rasulullah bersabda: "Aku peringatkan kalian bahwa siksa Allah yang dahsyat akan datang." Berkata Abu Lahab: "Celaka engkau! Apakah hanya untuk ini, engkau kumpulkan kami?" Maka turunlah ayat ini (Q.S Al-Lahab:1-5) berkenaan dengan peristiwa yang melukiskan bahwa kecelakaan itu akan terkena kepada orang yang memfitnah dan menghalang-halangi agama Allah. Maka turunlah surat ini.
1. Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. 2. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. 3. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. 4. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu baker. 4. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar.
b. Bentuk pertanyaan tentang sesuatu hal, maka tutunlah ayat Quran menerangkan tentang hukumnya.
Hal itu seperti ketika Khaulah binti Sa’labah dikenakan Zihar oleh suaminya Aus bin Samit. Lalu ia datang kepada Rasulullah SAW mengadukan hal itu. Aisyah berkata: Maha suci Allah yang pendengarannya meliputi segalanya` aku mendengar ucapan Khaulah binti Sa’labah itu, sekalipun tidak seluruhnya, ia mengadukan suaminya kepada Rasulullah SAW, katanya: Rasulullah SAW suamiku telah menghabiskan masa mudaku dan sudah beberapa kali aku mengandung karenanya, sekarang setelah aku menjadi tua, dan tidak beranak lagi ia menjatuhkan zihar kepdaku! Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu` Aisyah berkata: ` Tiba-tiba jibril turun membawa ayat-ayat ini : Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya yakni Aus bin Samit.`
Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Q.S Mujadalah: 1)
Tetapi hal itu tidak berarti bahwa setiap oranag harus mencari sebab turun setiap ayat, karena tidak setiap Quran diturunkan karena timbul sutu peristiwa dan kejadian. Atau karena suatu pertanyaan. Tetapi ada diantara ayat Qur’an diturunkan sebagai permulaan, tanpa sebab, mengenai akidah iman, kewajiban Islam dan syariat Allah dalam kehidupan pribadi dan sosial.
1. Penetapan Hukum Dengan Asbabun Nuzul
Pentingnya ilmu asbabun nuzul dalam ilmu Al-Qur'an adalah guna mempertegas dan mempermudah dalam memahami ayat-ayatnya, dapatlah kami katakan bahwa diantara ayat Al-Qur'an ada yang tidak mungkin dapat dipahami atau tidak mungkin diketahui ketentuannya/hukumnya tanpa ilmu Asbabun Nuzul. Sebagai contoh firman Allah SWT:
Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 115).
Dari ayat tersebut dapat dipahami bolehnya melakukan shalat menghadap ke selain kiblat. Pemahaman seperti ini adalah salah, karena menghadap kiblat adalah salah satu syarat sahnya shalat. Dengan ilmu asbabun nuzul dapatlah dipahami secara jelas, dimana ayat di atas turun sehubungan dengan kasus seseorang yang ada dalam perjalanan dan tidak mengetahui kiblat serta arah, karena itu ia boleh berijtihad untuk memilih arah dan selanjutnya ia melakukan shalat. Ke mana saja ia menghadap dalam shalatnya maka shahlah shalatnya. Ia tidak harus mengulangi kembali disaat ia mengetahui arah yang sebenarnya andaikata salah. Dengan demikian maka ayat di atas tidaklah bersifat umum tetapi bersifat khusus bagi seseorang yang tidak mengetahui kiblat dan arah.
1. Perhatian Para Ulama terhadap Asbabun Nuzul
Para penyelidik ilmu-ilmu Qur’an menaruh perhatian besar terhadap pengetahuan tentang Asbabun Nuzul. Untuk menafsirkan Qur’an ilmu ini diperlukan sekali, sehingga ada pihak yang mengkhususkan diri mengenai pembahasan dalam bidang itu. Yang terkenal diantaranya ialah Ali bin Madini, Guru Bukhari, kemudian al-Wahidi dalam kitabnya Asbabun Nuzul, kemudian al-Ja’bari yang meringkaskan kitab al-Wahidi dengan menghilangkan isnad-isnadnya, tanpa menambahkan sesuatu.
Menyusul Syaikhul Islam Ibn Hajar yang mengarang satu kitab mengenai Asbabun Nuzul. Satu juz dari naskah kitab ini didapatkan oleh As-Suyuti. yang mengatakan tentang dirinya : ` Dalam hal ini, aku telah mengarang satu kitab lengkap, singkat dan sangat baik serta dalam bidang ilmu ini belum aad satu kitab pun menyamainya. Kitab itu aku namakan Lubabul Manqul fi Asbabin Nuzul.
2. Redaksi Sebab Nuzul
Bentuk redaksi yang menerangkan sebab nuzul itu terkadang berupa pernyataan tegas mengenai sebab dan terkadang pula pernyataan yang hanya mengandung kemungkinan mengenainya.
a. Bentuk pertama
Adalah jika perawi mengatkan: Sebab nuzul ayat ini adalah begini. Atau menggunakan fa ta’qibiyah (kira-kira sepeerti `maka` yang menunjukkan urutan peristiwa) yag dirangkaikan dengan kata `turunkan ayat` , sesudah ia menyebutkan peristiwa atau pertanyaan misalnya , ia mengatakan; `Telah terjadi peristiwa begini` atau ` Rasulullah ditanya tentang hal begini, maka turunlah ayat ini.`
Dengan demikian, kedua bentuk diatas merupakan pernyataan yang jelas tentang sebab, contoh-contoh untuk kadua hal ini akan kami jelaskan lebih lanjut.` Bentuk kedua yaitu, redaksi yang boleh jadi menerangkan sebab nuzul atau hanya sekedar menjelaskan kandungan hukum ayat ialah bila perawi mengatakan ` Ayat ini turun mengenai ini`. Yang dimaksud dengan ungkapan ( redaksi ) ini terkadang sebab nuzul ayat dan terkadang pula kandungan hukum ayat tersebut. Demikian juga bila ia mengatakan` Aku mengira ayat ini turun mengenai soal begini` atau ` Aku tidak mengira ayat ini turun kecuali mengenai hal yang begini` dengan bentuk redaksi demikian ini, perawi tidak memastikan sebab nuzul. Kedua bentuk redaksi tersebut mungkin menunjukkan sebab nuzul dan mungkin pula menunjukkan hal lain.
Contoh pertama ialah apa yang diriwayatkan dari Ibn Umar, yang mengatakan : Ayat (isteri-isteri kamu adalah ibarat tanah tempat kamu bercocok tanam) (al-Baqarah: 223) turun ber hubungan dengan masalah menggauli isteri dari belakang.`
b. Bentuk Kedua
Contoh kedua ialah apa yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Zubair, bahwa Zubair mengajukan gugtan kepada seorang laki-laki dari kaum anhsar yang pernah ikut dalam perang Badar bersama Nabi, dihadapan Rasulullah SAW tentang saluran air yang mengalir dari tempat yang tinggi; keduanya mengairi kebun kuma masing-masing dari situ. Orang anshar berkata: Biarkan airnya mengalir` tetapi Zubair menolak, maka kara Rasulullah SAW: Airi kebunmu itu Zubair, kemudian biarkan air itu mengalir kekebun tetanggamu. Orang Anshar itu marah katanya: Rasulullah apa sudah waktunya anak bibimu itu berbuat demikian ? wajah Rasulullah menjadi merah. Kemudian ia berkata: Airi kebunmu Zubair, kemudian tahanlah air itu hingga memenuhi pematang; lalu biarkan ia mengalir kekebun tetanggamu. Rasulullah SAW dengan keputusan ini telah memnuhi hak Zubair, padahal sebelum itu ia mengisyaratkan keputusan yang memberikan kelonggaran keduanya. Ketika Rasulullah SAW marah kepada orang anshar, ia memnuhi hak Zubair secara nyata. Maka kata Zubair: Aku tidak mengira ayat berikut ini turun kecuali mengenai urusan tersebut:
Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan.(An-Nisa: 65).
1. Perlunya Mengetahui Asbabun Nuzul
Pengetahuann mengenai sababun nuzul mempunyai banyak faedah yang terpenting diantaranya :
1. Mengetahui hikmah diundangkannya suatu hukum dan perhatian syara’ terhadap kepentingan umum dalam mengahadapi segala peristiwa karena sayangnya terhadap umat.
2. Mengkhususkan (membatasi) hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi. Bila hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum. Ini bagi mereka yang berpendapat bahwa ` yang menjadi pegangan adalah sebab yang khusus dan bukannya lafal yang umum. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam Ali-Imran: 188.
3. Apa bila lafal yang diturunkan itu lafal; yang umum dan terdapat dalil pengkhususannyam maka pengetahuan mengenai asbabun nuzul membatasi pengkhusussan itu hanya terhadap yang selain bentuk sebab. Dan bentuk sebab ini tidak dapat dikeluarkan (dari cakupan lafal yang umum itu). Karena masuknya bentuk sebab kedalam lafal yang umum itu bersifat qath’i (pasti), maka ia tidak boleh dikeluarkan melalui ijtihad, karena ijtihad itu bersifat zanni (dugaan). Pendapat ini dijadikan pegangan ulam umumnya. Contoh yang demikian digambarkan dalam Q.S an-Nur : 23-25.
4. Mengetahui sebab nuzul adalah cara terbaik untuk memahami makna Al-Quran Al-Karim menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui sebab nuzulnya. Al-Wahidi menjelaskan: Tidaklah mungkin mengetahui tafsir ayat tanpa mengetahui sejarah dan penjelasan sebab turunnya.` Ibn Daqiqil ‘Id berpendapat: `Keterangan tentang sebab nuzul adalah cara yang kuat (tepat) untuk memahami makna Qur’an. Ibn Taimiah mengatkan: Mengetahui sebab nuzul akan membantu dalam memahami ayat, karena mengetahui sebab menimbulkan pengetahuan mengenai musabab (akibat). Contohnya antara lain, kesulitan Marwan bin al-Hakam dalam memahami ayat yang baru disebutkan tadi (al-Imran : 188)
5. Sebab nuzul dapat menerangkan tentang siapa ayat itu diturunkan sehingga ayat tersebut tidak diterapkan kepada orang lain karena dorongan permusuhan dan perselisihan. Seperti disebutkan mengenai firman Allah Q.S al-Ahqaf : 46.
MAKIYAH DAN MADANIYAH
1. Pengertian
Makiyah ialah ayat – ayat yang diturunkan sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah,kendatipun bukan turun di Mekkah. Madaniyah adalah ayat-ayat yang diturunkan sesudah Rasulullah hijrah ke Madinah, kendatipun bukan turun di madinah. Ayat-ayat yang turun setelah peristiwa hijrah disebut Madaniyyah walaupun turun di Mekkah atau Arafah.”
2. Ciri-Ciri Spesifik Makiyah dan Madaniyah
1. Makiyah
a. Di dalamnya terdapat sajadah
b. Ayat atau suratnya bersajak bersajak
c. Ayat-ayatnya mengandung masalah tauhid
d. Ayat-ayatnya dimulai dengan kalla
e. Dimulai dengan ya-ayuhan nas
f. Ayatnya mengandung tema kisah para nabi dan umat- umat terdahulu
g. Ayatnya berbicara tentang kisah nabi Adam dan Idris kecuali surat al-baqoroh
h. Ayatnya dimulai dengan huruf terpotong- potong seperti alif lam mim dan sebagainya
2. Madaniyah
a. Mengandung ketentuan-ketentuan faroid dan hadd
b. Mengandung sindiran-sindiran terhadap kaum munafik kecuali surat Al-Ankabut
c. Mengandung uraian tentang perdebatan dengan ahli kitab
d. Dimulai dengan ya-ayuhal ladzi
e. Mengandung masalah-masalah ibadah
3. Manfaat Mengetahui Pembagian Makkiyah dan Madaniyah
Pengetahuan tentang Makkiyah dan Madaniyah adalah bagian dari ilmu-ilmu Al-Qur’an yang sangat penting. Hal itu karena pada pengetahuan tersebut memiliki beberapa manfaat, di antaranya:
- Nampak jelas sastra Al-Qur’an pada puncak keindahannya, yaitu ketika setiap kaum diajak berdialog yang sesuai dengan keadaan obyek yang didakwahi; dari ketegasan, kelugasan, kelunakan dan kemudahan.
- Nampak jelas puncak tertinggi dari hikmah pensyariatan diturunkannya secara berangsur-angsur sesuai dengan prioritas terpenting kondisi obyek yang di dakwahi serta kesiapan mereka dalam menerima dan taat.
- Pendidikan dan pengajaran bagi para muballigh serta pengarahan mereka untuk mengikuti kandungan dan konteks Al-Qur’an dalam berdakwah, yaitu dengan mendahulukan yang terpenting di antara yang penting serta menggunakan ketegasan dan kelunakan pada tempatnya masing-masing
- Membedakan antara nasikh dan mansukh ketika terdapat dua buah ayat Makkiyah dan Madaniyah, maka lengkaplah syarat-syarat nasakh karena ayat Madaniyah adalah sebagai nasikh (penghapus) ayat Makkiyah disebabkan ayat Madaniyah turun setelah ayat Makkiyah.
MUNASABAH AL QUR’AN
1. Pengertian
Munasabah (korelasi) dalam arti bahasa berarti kedekatan. Yang dimaksud dengan munasabah disini ialah segi-segi hubungan antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat, antar satu ayat dengan ayat lain dalam banyak ayat, atau antara satu surah dengan surah yang lain. Pengetahuan tentang munasabah ini sangat bermanfaat dalam memahami keserasian antar makna, keteraturan susunan kalimatnya dan keindahan gaya bahasanya
Menurut Manna Al-qathan munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat,atau antar ayat pada beberapa ayat atau antar surat dalam al-qur’an. As-Suyuti menjelaskan langkah-langkah yang diperhatikan dalam menemukan munasabah yaitu:
- Memperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian
- Memperhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat
- Menentukan tingkatan uraian-uraian itu apakah ada hubungannya atau tidak
- Dalam mengambil keputusan,hendaknya memperhatikan ungkapan-ungkspan dengan benar dan tidak berlebihan
2. Postulat dan Alas Teoritik
Jumhur ulama telah sepakat bahwa urutan ayat dalam satu surat merupakan urutan-urutan tauqifi, yaitu urutan yang sudah ditentukan oleh Rasulullah sebagai penerima wahyu. Akan tetapi mereka berselisih pendapat tentang urutan-urutan surat dalam mushaf, apakah itu taufiqi atau tauqifi (pengurutannya berdasarkan ijtihad penyusun mushaf).
Secara sepintas jika diamati urut-urutan teks dalam al-Qur’an mengesankan al-Qur’an memberikan informasi yang tidak sitematis dan melompat-lompat. Satu sisi realitas teks ini menyulitkan pembacaan secara utuh dan memuaskan, tetapi sebagaimana telah disinggung oleh Abu Zaid, realitas teks itu menujukkan ‘stalistika’ (retorika bahasa) yang merupakan bagian dari I’jaz al-Qur’an aspek kesusasteraan dan gaya bahasa. Maka dalam konteks pembacaan secara holistik pesan spiritual al-Qur’an, salah satu instrumen teoritiknya adalah dengan ‘ilm munâsabah.
Keseluruhan teks dalam al-Qur’an, sebagaimana juga telah disinggung di muka, merupakan kesatuan struktural yang bagian-bagiannya saling terkait. Keseluruhan teks al-Qur’an menghasilkan weltanschauung (pandangan dunia) yang pasti. Dari sinilah umat Islam dapat memfungsikan al-Qur’an sebagai kitab petunjuk (hudan) yang betul-betul mencerahkan (enlighten) dan mencerdaskan (educate). Akan tetapi Fazlur Rahman[11] menengarai adanya kesalahan umum di kalangan umat Islam dalam memahami pokok-pokok keterpaduan al-Qur’an, dan kesalahan ini terus dipelihara, sehingga dalam praksisnya umat Islam dengan kokohnya berpegang pada ayat-ayat secara terpisah-pisah. Fazlur Rahman mencatat, akibat pendekatan “atomistik” ini adalah, seringkali umat terjebak pada penetapan hukum yang diambil atau didasarkan dari ayat-ayat yang tidak dimaksudkan sebagai hukum.
Tentu untuk melakukan pembacaan holistik terhadap al-Qur’an tersebut membutuhkan metodologi dan pendekatan yang memadai. Metodologi dan pendekatan yang telah dipakai oleh para mufassir klasik menyisakan masalah penafsiran, yaitu belum bisa menyuguhkan pemahaman utuh, komprehensif, dan holistik. ‘Ilm munâsabah sebenarnya memberi langkah strategis untuk melakukan pembacaan dengan cara baru (al-qira’ah al-muashirah) asalkan metode yang digunakan untuk melakukan “perajutan” antar surat dan antar ayat adalah tepat. Untuk itu perlu dipikirkan penggunaan metode dan pendekatan hermeneutika dan antropologi filologis dalam ‘ilm munâsabah.
3. Bentuk-Bentuk Munâsabah
Secara rinci munasabah Al-Qur’an terdiri atas 8 bagaian, yakni:
1. Munasabah antar surat dengan surat sebelumnya: berfungsi sebagai menyempurnakan surat sebelumnya
2. Munasabah antara nama surat dan tujuan turunya
3. Munasabah antar bagian suatu ayat
4. Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan
5. Munasabah antara suatu kelompok ayat dengan kelompok ayat disampingnya
6. Munasabah antara fashilah (pemisah) dan isi ayat
7. Munasabah antara awal surat dengan akhir surat yang sama
8. Munasabah antara penutup suatu surat dengan awal surat berikutnya
Namun, pada bagaian ini akan dijelaskan munasabah Al-Qur’an secara garis besarnya; Munasabah antarsurat dan Munasabah antar ayat, yaitu;
a. Munâsabah Antarsurat
Munâsabah antarsurat tidak lepas dari pandangan holistik al-Qur’an yang menyatakan al-Qur’an sebagai “satu kesatuan” yang “bagian-bagian strukturnya terkait secara integral”.
Surat al-Fâtihah menjadi ummu al-Kitab, sebab di dalamnya terkandung masalah tauhid, peringatan dan hukum-hukum, yang dari masalah pokok itu berkembang sistem ajaran Islam yang sempurna melalui penjelasan ayat-ayat dalam surat-surat setelah surat al-Fâtihah. Ayat 1-3 surat al-Fâtihah mengandung isi tentang tauhid, pujian hanya untuk Allah karena Dia-lah penguasa alam semesta dan Hari Akhir, yang penjelasan rincinya dapat dijumpai secara tersebar di berbagai surat al-Qur’an. Salah satunya adalah surat al-Ikhlas yang konon dikatakan sepadan dengan sepertiga al-Qur’an. Ayat 5 surat al-Fâtihah;
mendapatkan penjelasan lebih rinci tentang apa itu “jalan yang lurus” di permulaan surat al-Baqarah;
Atas dasar itu dapat disimpulkan bahwa teks dalam surat al-Fâtihah dan teks dalam surat al-Baqarah berkesesuaian (munâsabah).
Contoh lain dari munasabah antarsurat adalah tampak dari munasabah antara surat al-Baqarah dengan surat Ali Imran. Keduanya menggambarkan hubungan antara “dalil” dengan “keragu-raguan akan dalil”. Maksudnya, surat al-Baqarah “merupakan surat yang mengajukan dalil mengenai hukum”, karena surat ini memuat kaidah-kaidah agama, sementara surat ali Imran “sebagai jawaban atas keragu-raguan para musuh Islam”.
Lantas bagaimana hubungan antara surat Ali Imran dengan surat sesudahnya? Pertanyaan itu dapat dijawab dengan menampilkan fakta bahwa setelah keragu-raguan dijawab oleh surat Ali Imran, maka surat berikutnya (an-Nisa’) banyak memuat hukum-hukum yang mengatur hubungan sosial, kemudian hukum-hukium ini diperluas pembahasannya dalam surat al-Maidah yang memuat hukum-hukum yang mengatur hubungan perdagangan dan ekonomi. Jika legislasi, baik dalam aras hubunhgan sosial ataupun ekonomi, hanya merupakan instrumen bagi tercapainya tujuan dan sasaran lain, yaitu perlindungan terhadap keamanan masyarakat, maka tujuan dan sasaran tersebut terkandung dalam surat al-An’am dan surat al-A’raf.
b. Munâsabah Antarayat
Kajian tentang munasabah antarayat, sama seperti kajian tentang munasabah antarsurat, berusaha menjadikan teks al-Qur’an sebagai kesatuan umum yang mengacu kepada berbagai hubungan yang mempunyai corak – dalam istilah yang dipakai Abu Zaid – “interptretatif. Abu Zaid dalam mengkaji munasabah antarayat tidak memasukkan unsur eksternal, dan tidak pula berdasarkan pada bukti-bukti di luar teks. Akan tetapi teks dalam ilmu ini merupakan bukti itu sendiri.
Bentuk munasabah antar ayat adalah tampak dalam hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat. Contoh dalam masalah ini misalnya dalam surat al-Mu’minun, ayat pertama yang berbunyi;
lalu di bagian satu ayat sebelum akhir surat tersebut berbunyi
Ayat pertama menginformasikan keberuntungan dalam orang-orang mu’min, sedangkan ayat kedua tentang ketidakberuntungan orang-orang kafir.
Munasabah antar surat ini juga dijumpai dalam contoh misalnya kata muttaqin dalam surat al-Baqarah: 2, dijelaskan oleh ayat berikutnya yang memberi informasi tentang ciri-ciri orang-orang yang bertaqwa (muttaqun).
MUHKAM DAN MUTASYABIH
1. Pengertian
Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui dengan gamblang baik melalui takwil ataupun tidak. Mutasyabih adalah ayat yang hanya Allah yang mengetahui maksudnya, baik secara nyata maupun melalui takwil, seperti datangnya hari kiamat, keluarnya dajjal dan lain-lain. Atau Muhkam adalah ayat-ayat yang mengandung pengertian yang jelas, sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat yang masih memerlukan pemikiran dan pengkajian lebih lanjut.
2. Sebab-sebab Tasyabuh di dalam al-Qur’an
Disebabkan tersembunyinya apa yang dimaksud oleh syar’I (Allah SWT) dalam kalimah ayat tersebut.
a. Kadang-kadang ia terdapat dalam lafal atau kata
“Lalu dihadapinya berhala itu sambil memukulnya dengan tangan kanannya” (Q.S Shaffat: 93).
Kata al-yamiin mengandung 3 pengertian, yaitu
· Menggunakan tangan kanan, tidak tangan kiri
· Memukul dengan keras, karena yang kanan ialah yang terkuat dari kedua anggota badan
· Berarti sumpah
b. Kadang-kadang ia kembali kepada pengertian atau makna, seperti apa yang dikhususkan Allah dengan-Nya terhadap diri-Nya disebabkan ilmu-Nya. Contoh: huru-hara hari kiamat, tanda-tanda kiamat besar. Atau Assa’ah, Syurga dan Neraka antara lain: (QS. Al-Qiyamah: 6-13).
3. Dalil Adanya Muhkam dan Mutasyabih
Dalam al-Qur’an surat Ali-Imron ayat 7 menyatakan adanya ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih:
Dialah yang menurunkan Al-Kitab (al-Qur’an) kepada kamu, diantara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat. Itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (dari padanya) melainkan orang-orang yang berakal.”
Dari ayat di atas secara eksplisit menyebutkan bahwa ayat al-Qur’an dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Ayat Muhkamat, yang merupakan pokok-pokok isi al-Qur’an dan menjadi landasannya serta menjadi bagian terbesar darinya.
2. Ayat Mutasyabihat. Baik ayat yang muhkamat maupun mutasyabihat, keduanya saling berhadap-hadapan. Artinya bahwa ayat yang muhkam sebagai imbangan terhadap ayat yang mutasyabih. Hal ini sebagaimana kebenaran berhadapan dengan kebatilan, orang-orang yang berilmu berhadapan dengan orang-orang yang di dalam hatinyat terdapat kecenderungan sesat.
4. Pendapat Ulama tentang Ayat Mutasyabihah
Dalam bagian ini, pembahasan khusus tentang ayat-ayat mutasyabihat yang menyangkut sifat-sifat tuhan yang dalam istilah As-Suyuti “ayat al-Shifat dan dalam istilah Shubhi “Al-Shifat”. Ayat-ayat yang termasuk dalam kategori ini banyak yang diantaranya adalah:
· Ar-Rahman bersemayam di atas ‘arsy.
· Dan datanglah Tuhanmu, sedang malaikat berbaris-baris.
· Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya. \
· Dan supaya kamu diasuh di atas mata-Ku.
Dalam ayat-ayat ini terdapat kata-kata “bersemayam”, “datang”, “di atas”, “sisi”, “wajah”, “mata”, “tangan” dan “diri” yang dibanggakan atau dijadikan sifat bagi Allah.Pendapat para ulama tentang ayat-ayat mutasyabihat di atas adalah:
a. Menurut madzhab salaf, yaitu orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat mutasyabihat itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri.
b. Menurut madzhab khalaf, yaitu ulama yang menakwilkan lafal yang makna lahirnya mustahil kepada makna yang lain dengan dzat Allah. Mereka itu disebut pula madzhab takwil. Dari ayat-ayat mutasyabihat di atas dapat ditakwil, contohnya:
· Istiwa’ diartikan dengan ketinggian yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam semesta ini tanpa merasa kepayahan.
· Kedatangan Allah diartikan kedatangan perintahNya.
· Allah berada di atas hambaNya diartikan dengan Allah Maha Tinggi, bukan berada di suatu tempat tertentu.
· Sisi diartikan hak Allah
· Wajah diartikan dzat Allah
· Mata diartikan pengawasan
· Tangan diartikan kekuasaan
5. Hikmah Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat
Terlepas dari kontroversi tentang ada atau tidaknya muhkam dan mutasyabih dalam al-Qur’an ini, tetapi bagi yang mengakuinya, dapat ditemukan beberapa hikmah sebagai berikut:
a. Jika seluruh ayat al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat muhkamat, maka sirnalah ujian keimanan dan amal perbuatan lantaran pengertian ayat-ayat yang jelas dan sebaliknya. Orang yang tidak tahan uji terhadap cobaan maka mereka akan ingkar terhadap ayat-ayat mutasyabihat.
b. al-Qur’an yang berisi muhkam dan mutasyabih memberi motivasi kepada umat Islam untuk terus menerus menggali berbagai kandungannya sehingga mereka terhindar dari taqlid.
c. Adanya ayat muhkam memudahkan manusia mengetahui maksud ayat tersebut dan menghayati untuk diamalkan dalam kehidupan. Di sisi lain, adanya mutasyabihat memotivasi manusia untuk senantiasa menggunakan dalil akal di samping dalil naqal.
d. Adanya muhkam dan mutasyabih sebagai bukti kejelasan al-Qur’an yang memiliki mutu tinggi nilai sasteranya, agar manusia meyakini bahwa itu bukan produk Muhammad, tetapi produk Allah, agar mereka melaksanakan isinya.
Allah SWT sengaja menjadikan al-Qur’an yang muhkam dan mutasyabihah
QIRO’AT AL-QUR’AN
1. Pengertian
Al-Qira'at adalah jamak dari kata qir'at yang berasal dari qara'a - yaqra'u - qirâ'atan. Menurut istilah qira'at ialah salah satu aliran dalam mengucapkan Al-Qur'an yang dipakai oleh salah seorang imam qura' yang berbeda dengan lainnya dalam hal ucapan Al-Qur'anul Karim. Atau Qiro’at adalah ilmu yng mempelajari cara-cara mengucapkan kata-kata al-qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya. Qira'at ini berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW. Diantara sahabat yang populer dengan bacaannya adalah: Ubay, Aly, Zaid ibnu Tsabit, Ibnu Mas'ud. Abu Musa al-Asy'ary dan lain-lain.
2. Sejarah Timbulnya Qira'at
Periodesasi qurra' dimulai sejak zaman sahabat sampai dengan masa tabi'in. Orang-orang yang menguasai tentang Al-Qur'an ialah yang menerimanya dari orang-orang yang dipercaya dan dari imam demi imam yang akhirnya berasal dari Nabi.
Sedangkan mushhaf-mushhaf tersebut tidaklah bertitik dan berbaris, dan bentuk kalimat di dalamnya mempunyai beberapa kemungkinan berbagai bacaan. Tidaklah diragukan lagi bahwa penguasaan tentang riwayat dan penerimaan adalah merupakan pedoman dasar dalam bab qira'at dan Al-Qur'an.
Kalangan sahabat sendiri dalam pengambilannya dari Rasul berbeda-beda. Ada yang membaca dengan satu huruf sedang yang lain ada yang mengambilnya dan huruf/bacaan. Dan bahkan yang lain lagi ada yang lebih dari itu. Kemudian mereka bertebaran ke seluruh penjuru daerah dalam keadaan semacam ini.
Utsman r.a. ketika mengirim mushhaf-mushhaf ke seluruh penjuru kota ia mengirimkan pula orang yang sesuai bacaannya mempunyai satu segi bacaan dan yang lainnya ada pula yang lebih dari itu. Oleh karena itulah timbulnya banyak perbedaan dan kurang adanya keseragaman antara sesamanya.
Pada masa itu himbauan tokoh-tokoh dan pemimpin ummat untuk bekerja keras sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya sehingga bisa membedakan antara bacaan yang benar dan yang tidak benar. Mereka mengumpulkan huruf dan qira'at, mengembangkan wajah-wajah dan dirayah, menjelaskan yang benar dan yang salah serta yang berkembang dan yang punah dengan pedoman-pedoman yang mereka kembangkan dan segi-segi yang mereka utamakan.
3. Macam-Macam Qiro’at:
1. Qiro’at Sab’ah ( Qiro’at tujuh ) adalah imam-imam qiro’at ada tujuh orang, yaitu:
a. Abdullah bin Katsir Ad-Dari (w.120 H ) dari Mekkah.
b. Nafi’ bin ‘Abdurrahman bin Abu Na’im (w .169 H ).dari madinah
c. Abdullah Al-yashibi (w.118 H ) dari Syam
d. Abu Amar (w.154 H ) dari Irak
e. Ya’kub (w.205 H ) dari Irak
f. Hamzah (w.188 )
g. Ashim (w.127 H )
2. Qiro’ah Asyiroh adalah qiro’ah sab’ah ditambah dengan 3 imam yaitu: Abu Ja’far, Ya’kub bin Ishaq, kalaf bin hisyam
3. Qiro’ah Arba Asyiroh (qiro’ah empat belas) yaitu qiro’ah sepuluh ditambah dengan 4 imam yaitu Al-hasan al basri, muhammad bin abdul rohman,yahya bin mubarok,Abu fajr muhammad bin ahmad.
Dari segi kualitas qiro’ah dapat dibagi menjadi
1. Qiro’ah Mutawwatir yaitu qiro’ah yang disampakan kelompok orang yang sanatnya tidak berbuat dusta
2. Qiro’ah Mashur yaitu qiro’ah yang memiliki sanad sahih dan mutawatir
3. Qiro’ah ahad yaitu memiliki sanad sahih tapi menyalahi tulisan mushaf usmani dan kaidah bahasa Arab
4. Qiro’ah Maudhu yaitu palsu
5. Qiroah Syadz Yaitu menyimpang
6. Qiro’ah yang menyerupai hadist mudroj (sisipan)
7. Qiraat Yang Masyhur
4. Qira’at Pada Masa Sahabat
Periode qura' yang mengajarkan bacaan Al-Qur'an kepada orang-orang menurut cara mereka masing-masing adalah dengan standard dari masa sahabat yang mulia. Diantara sahabat yang populer dengan bacaannya adalah: Ubay, Aly, Zaid ibnu Tsabit, Ibnu Mas'ud. Abu Musa al-Asy'ary dan lain-lain.
Dari mereka itulah kebanyakan para sahabat dan tabi'in di seluruh daerah belajar. Mereka itu semuanya berpedoman kepada Rasulullah SAW sampai dengan datangnya masa tabi'in pada permulaan abad ke-2 H. Selanjutnya timbul golongan-golongan yang begitu memperhatikan adanya tanda baca secara sempurna manakala diperlukan dan mereka menjadikannya sebagai satu cabang dari ilmu sebagaimana halnya ilmu-ilmu syari'at yang lain.
IJAZUL QURAN
1. Pengertian
Kata I’jaz adalah masdar dari kata ‘ajz artinya lemah. Adapun maksud dari I’jaz adalah menampakkan kebenaran Nabi Mughammad SAW dalam tugas kerasulannya dengan menampakkan kelemahan masyarakat Arab dan generasi-generasi berikutnya untuk menentangnya.
Al-Qur’an digunakan oleh Nabi Muhammad SAW. Untuk menantang orang-orang pada masa beliau dan generasi sesudahnya yang tidak percaya akan kebenaran Al-Qur’an sebagai firman Allah dan tidak percaya akan risalah Nabi SAW ajaran yang dibawanya. Terhadap mereka sungguh pun mereka memiliki tingkat fashahah dan balaghah sedemikian tinggi di bidang bahasa Arab, Nabi mereka minta untuk menandingi Al-Qur’an dalam tiga tahapan :
1. Mendatangkan semisal Al-Qur’an secara keseluruhan. Sebagaimana di jelaskan pada surat Al-Isra’ ayat 88 :
“Katakanlah sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”
2. Mendatangkan sepuluh surat yang menyamai surat-surat ada dalam Al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan dalam surat Hud ayat 13 :
“Bahkan mereka mengatakan, “Muhammad telah membuat-buat Al-Qur’an.” Katakanlah, kalau demikian, maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang di buat-buat menyamainya, dan pangillah orang-orang yang kamu sanggup memanggilnya selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar”
3. Mendatangkan satu surat saja yang menyamai surat-surat yang ada dalam Al-Qur’an, sebagaiman dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 23 :
“Dan jika tetap dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang kami wahyukan kepada hamba kami {Muhammad}, buatlah satu surat saja semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”
- Macam-macam I’jaz (Mukjizat)
Secara garis besar mukjizat dapat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu mukjizat yang bersifat material indrawi yang tidak kekal dan mukjizat immaterial, logis dan dapat dibuktikan sepanjang masa.mukjizat nabi-nabi terdahulu merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka bersifat material dan indrawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau langsung lewat indra oleh masyarakat tempat mereka merisalahkannya.
Perahu Nabi Nuh yang dibuat dia atas petunjuk Allah sehingga mampu bertahan dalam situasi ombak dan gelombang yang sedemikian dahsyat, tidak terbakarnya Nabi Ibrahim a.s. dalam kobaran api yang sangat besar, berubah wujudnya tongkat Nabi Musa a.s. menjadi ular, penyembuhan yang dilakukan oleh Nabi Isa a.s. atas izin Allah, dan lain-lain. Kesemuanya itu bersifat material indrawi, sekaligus terbatas pada lokasi tempat mereka berada, dan berakhir dengan wafatnya mereka. Ini berbeda dengan mukjizat Nabi Muhammad SAW yang sifat indrawi atau material, tetapi dapat dipahami akal. Karena sifatnya yang demikian, ia tidak dapat dibatasi oleh suatu tempat atau masa tertentu. Mukjizat Al-Qur’an dapat dijangkau oleh setiap orang yang menggunakan akalnya di mana dan kapan pun.
3. Segi-segi kemukjizatan Al-Qur’an
a. Gaya Bahasa
Gaya bahasa Al-Qur’an membuat orang Arab pada saat itu kagum dan terpesona. Kehalusan ungkapan bahasanya membuat banyak diantara mereka masuk islam. Bahkan, Umar bin Abu Thalib pun yang mulanya dikenal sebagai seorang yang paling memusuhi Nabi Muhammad SAW dan bahkan berusaha untuk membunuhnya, memutuskan untuk masuk islam dan beriman pada kerasulan Muhammad hanya karena membaca petikan ayat-ayat Al-Qur’an. Susunan Al-Qur’an tidak dapat disamakan oleh karya sebaik apapun.
b. Susunan Kalimat
Kendati pun Al-Qur’an, hadis qudsi, dan hadis nabawi sama-sama keluar dari mulut nabi, tetapi uslub atau susunan bahasanya sangat jauh berbeda. Uslub bahasa Al-Qur’an jauh lebih tinggi kualitasnya bila di bandingkan dengan lainnya. Al-Qur’an muncul dengan uslub yang begitu indah.di dalam uslub tersebut terkandung nilai-nilai istimewa yang tidak akan pernah ada ucapan manusia.
Dalam Al-Qur’an, misalnya banyak ayat yang mengandung tasybih yang disusun kedalam bentuk yang sangat indah lagi mempesona, jauh lebih indah dari apa yang dibuat oleh para penyair atau sastrawan. Dapat dilihat dari satu contoh dalam surat Al-Qariah ayat 5, Allah berfirman :
“Dan gunung-gunung seperti bulu yang di hambur-hamburkan”
c. Hukum Illahi yang sempurna
Al-Qur’an menjelaskan pokok-pokok akidah, norma-norma keutamaan, sopan santun, undang-undang ekonomi, politik, social dan kemasyarakatan,serta hokum-hukum ibadah. Apabila memperhatikan pokok-pokok ibadah, kita akan memperoleh kenyataan bahwa islam telah memperluasnya dan menganekaragamkan serta meramunya menjadi ibadah amaliyah, seperti zakat dan sedekah. Ada juga berupa ibadah amaliyah sekaligus ibadah badaniyah, seperti berjuang di jalan Allah.
Al-Qur’an menggunakan dua cara tatkala menetapkan sebuah ketentuan hokum, yakni: secara global (perinciannya diserahkan kepada Mujtahid) dan secara terperinci (berkaiatan dengan dengan utang piutang, makanan yang halal dan yang haram, memelihara kehormatan wanita, dan masalah perkawinan)
d. Ketelitian Redaksinya
Ketelitian redaksi bergantung pada hal berikut :
1. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dan antonimnya, beberapa contoh diantaranya :
- Al-Hayah (hidup0 dan Al-Maut (mati), masing-masing serbanyak 145 kali
- An-Naf (manfaat) dan Al-Madharah (mudarat), masing-masing sebanyak 50 kali
- Al-Har (panas) dan Al-Bard (dingin) sebanyak 4 kali
- As-Shalihat (kebajikan) danAs-Syyiat (keburukan) sebanyak masing-masing 167 kali
- Ath-thuma’ninah (kelapangan/ketenangan) dan Adh-dhiq (kesempitan/kekesalan) sebanyak masing-msing 13 kali
2. Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya atau makna yang dikandungnya
a. Al-harts dan Az-zira’ah (membajak/bertani) masing-masing 14 kali
b. Al-‘ushb dan Adh-dhurur (membanggakan diri/angkuh) masing-masing 27 kali
c. Adh-dhaulun dan Al-mawta (orang sesat/mati jiwanya) masing-masing 17 kali
5. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjukan akibatnya
a. Al-infaq (infaq) dengan Ar-ridha (kerelaan) masing-masing 73 kali
b. Al-bukhl (kekikiran) dengan Al-hasarah (penyesalan) masing-masing 12 kali
c. Al-kafirun(orang- orang kafir) dengan An-nar/Al-ihraq (neraka/pembakaran) masing-masing 154 kali
6. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya
a. Al-israf (pemborosan dengan As-sur’ah (ketergesaan) masing-masing 23 kali
b. Al-maw’izhah (nasihat/petuah) dengan Al-lisan (lidah) masing-masing 25 kali
c. Al-asra (tawanan) dengan Al-harb (perang) masing-masing 6 kali
7. Di samping keseimbangan-keseimbangan tersebut, di temukan juga keseimbangan khusus
a. Kata yawm (hari) dalam bentuk tunggal sejumlah 365 kali, sebanyak hari-hari dalam setahun, sedangkan kata hari dalam bentuk plural (ayyam) atau dua (yawmayni), berjumlah tiga puluh, sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Disisi lain, kata yang berarti bulan (syahr) hanya terdapat dua belas kali sama dengan jumlah bulan dalam setahun.
b. Al-Qur’an menjelaskan bahwa langit itu ada tujuh macam. Penjelasan ini diulangi sebanyak tujuh kali pula, yakni dalam surat Al-Baqarah ayat 29, surat Al-Isra ayat 44, surat Al-Mu’minun ayat 86, surat Fushilat ayat 12, surat Ath-thalaq 12, surat Al- Mulk ayat 3, surat Nuh ayat 15, selain itu, penjelasan tentang terciptanta langit dan bumi dalam enam hari dinyatakan pula dalam tujuh ayat.
c. Kata-kata yang menunjukkan kepada utusan Tuhan, baik rasul atau nabi atau basyir (pembawa berita gembira) atau (nadzir pemberi peringatan), kesemuanya berjumlah 5189 kali. Jumlah ini seimbang dengan jumlah penyebutan nama-nama nabi, rasul dan pembawa berita tersebut yakni 518.
e. Berita tentang hal-hal yang gaib
Sebagaian ulama mengatakan bahwa sebagian mukjizat Al-Qur’an itu adalah berita-berita gaib. Firaun yang mengejar-ngejar Nabi Musa, diceritakan dalam surat Yunus ayat 92 :
“Maka pada hari ini kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang dating sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami”
Pada ayat itu ditegaskan bahwa badan firaun tersebut akan diselamatkan Tuhan untuk menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya. Tidak seorang pun mengetahui hal tersebut karena telah terjadi sekitar 1.200 tahun SM. Pada awal abad ke-19 tepatnya.
f. Isyarat-isyarat ilmiah
Banyak sekali isyarat ilmiah yang di temukan dalam Al-Qur’an, misalnya :
a. Cahaya matahari bersumber dari dirinya dan cahaya bulan merupakan pantulan. Sebagaiman yang dijelaskan dalam firman Allah surat Yunus: 5
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkannya manzilah-manzilah {tempat-tempat} bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan {waktu}. Allah tidak menciptakan yang demikian itu, melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda {kebesaran-Nya} kepada orang-orang yang mengetahui}”
b. Kurangnya oksigen pada ketinggian dapat menyesakkan napas.Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 25
c. Perbedaan sidik jari manusia. Al-Qur’an surat Al-Qiyamah ayat 4
d. Aroma atau bau manusia berbeda-beda. Al-Qur’an surat Yusuf ayat 94
e. Masa penyusunan yang tepat dan masa kehamilan minimal, Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 233
f. Adanya nurani {superego} dan bawah sadar manusia. Al-Qur’an surat Al-Qiyamah ayat 14
g. Yang merasakan nyeri adalah kulit. Al-Qur’an surat An-nisa ayat 56:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat kami, kelak akan kami masukkan mereka kedalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah maha perkasa lagi maha bijaksana”
TAFSIR, TAKWIL DAN TERJEMAH
1. Pengertian
Definisi Tafsir
Tafsir menurut bahasa adalah penjelasan dan penerangan, didalam lisanun arab tafsir menurut bahasa adalah penjalasan,dengan tujuan menjelasan sesuatu yang kurang paham. Sedangkan menurut istilah ulama sangat banyak mendefenisikannya salah satu diantanya:
Menurut Abadullah Azzarkasyi dalam kitabnya ulumul qur’an, : tafsir adalah suatu ilmu untuk mengetahui dan memahami kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dan menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum-hukum dan hikmahnya, dan cocok dengan ilmu lughah dan ilmu nahwu dan sharaf ilmu bayan dan ushul fiqih dan ilmu qira’at dan asbabunuzul dan nasikh dan mansukh.
Dari beberapa definisi diatas dapat kita simpulkan bahwa tafsif adalah suatu ilmu yang mengkaji dan membahas Alqur’an dan mencari hikmah-hikmah yang terkandung dalam Alqur’an.
Defenisi takwil
Menurut bahasa,Takwiil diambil dari kata al-awala dengan makna kembali. Didalam kamus Al-muhit: awwalul kalam takwiilan dan takwilnya, mendalami, dan meneliti dan menerangkan. didalam lisanul arab,: mengambalikan makna sesuatu. Namun takwil secara istilah yang masyhur dikalangan ulama adalah: sinonim dari tafsir, dengan dalil ayat Allah dalam surat ali imran ayat yang ke tujuh.
Takwil menjelasan lafaz alqur’an dengan jalan dirayah sedangkan tafsir menjelaskan lafaz alqur’an dengan jalan riwayat
Dengan itu dapat kita simpulkan bahwa takwil tidak jauh berbeda dengan tafsir namun ada sedikit perbedan dalam meneliti ayat alqur’an. InsyaAllah akan dijelaskan secara terperinci terhadap perbedaan antara keduanya.
Definisi Terjemah
Terjemahan merupakan suatu metode pengalihan bahasa, baik itu dari bahasa Arab ke non-bahasa Arab. Namun pada bagain ini dikhususkan bahwa terjemahan itu merupakan suatu cara/metode pengalihan bahasa dengan tujuan agar mudah dipahami kandungan isi, baik yang tersurat maupun tersirat dari bahasa yang tidak dipahami.
2. Pembagian tafsir
Diriwayatkan dari Ibn Abbas ra bahawa “ Tafsir itu terbahagi kepada 4 bahagian, iaitu perkara yang dapat diketahui oleh orang arab akan maknanya, tafsir dan perkara yang tidak ada keuzuran bagi sesiapa pun untuk mengetahuinya lantaran terlalu jelas dan tafsir yang hanya diketahui oleh para ulama’ serta tafsir dan perkara yang hanya diketahui oleh Allah swt.” [24]
Kebanyakan ulama membagi tafsir kepada tiga. Sebagaimana dikatakan oleh Azzarqani dalam kitabnya.
1. Tafsir bil makstur adalah tafsir dengan riwayat
2. Tafsir bil rakyi adalah tafsir dengan dirayah dan pendapat
3. Tafsir Isyari adalah tafsir dengan isyarat
Akan tetapi ada tiga bagian tafsir yang termasyhur di kalangan banyak orang yaitu.
1. Tafsir tahlili adalah menafsirkan ayat kalimat demi kalimat dan dilengkapi dengan i;rab.
2. Tafsir maudhu’i adalah menafsikan ayat sesuai dengan maudu’ yang ada dalam Alqur’an seperti sabar, jihad dll.
3. Tafsir ayatul ahkam adalah mennafsirkan ayat yang disana ada hukum fiqih seperti tetnang ayat talak.
3. Munculnya Tafsir dan Ilmunya
Sebenarnya tafsir sudah muncul semenjak dari maualainya turun Al-qur’an, sebab mana ayat yang tidak dipahami oleh para sahabat, itu langsung ditanyakan pada nabi SAW, seperti, ketika turun surat Al-an’am ayat 82.
Tafsir merupakan jalan penjelas bagi kita untuk memahami Alqu’an. Namun yang menjadi pertanyaan bagi kita mulai kapankah muncul para ahli tafsir, insyallah akan dijelas dengan terang.
1. Dari kalangan shababat. Imam Assayut telah menuliskan dalam itqaannya, para ahli tafsir yang masyhur dikalangan sahabat adalah khulafah arrasyidiin, dan Ibnu Mas’ud, dan Ibnu Abbas , Ubai bin Ka’ab,Zaid bin Sabit, Abu musa al asy’ari, Abdullah bin zubair. Adapun dari khulafah urrasyidiin yang terbanyak meriwayatkan ialah ali bin abi talib, akan tetapi Abu bakar dan Umar dan Usman bin affan sedikit sekali meriwayatkan disebabkan cepatnya wafat semoga Allah meredhoi mereka.
2. Dari kalangan tabi’in, yang masyhur dimakah murid dari Ibnu Abbas : Si’id bin jubair,Mujahid, Ikrimah, Maula ibnu Abbas, Thaus bin kisan Alyamaniy, Athaak bin abi rabah. Dan yang masyhur di madinah murid dari Ubay bin Ka’ab: Zaid bin Aslam Abul ‘aliyah, Muhammad bin Ka’ab alqurzy. Dan yang masyhur di Iraq murid dari Abdullah bin Mas’ud: ‘Alqamah bin Qais,Masruq,Alaswad bin yazid,’Aamir Asyi’bi, Hasan albasri,Qitadah bin da’amah assudusy.
Setelah itu dilanjutkan oleh para mufassir yang kita kenal sekarang namun tafsir yang ditulis para ulama baik yang telah wafat ataupun yang masih hidup sekarang, akan dipengaruhi penafsirannya oleh akidah dan mazhab yang dimiliki oleh ulama itu. Seperti Tafsir Jami’ Ahkam oleh Qurtubi yang berbentuk permasalahan fikih atau fahaman yang dimasukkan dalam penafsiran Al-Quran. Dan ada juga ahli tafsir yang menafsirkan Alqur’an dengan ilmu-ilmu yang lain, seperti falsafah dan mantik, riayadah,menurut perspektif akal dan logika seperti tafsir Fakhrul Din Ar-Razi yang berbentuk falsafah, tafsir Al-Alusi “ Ruh Al-Ma’ani Fi Tafsir Quranil Azim Wa’ Sab’ul Masani” , Tafsir Al-Baidhawi “ Anwar At-Tanzil Wa’ Asrar Ta’wil” dan Tafsir Jalalain.
Terdapat juga tafsir–tafsir lain seperti Tafsir ibn Katsir “ Tafsir Al-Quran Azim”, Tafsir Al-Baghawi “ Ma’alim At-Tanzil” serta tafsir Syaukani “ Fathul Qadir” yang menafsikan Alqur’an berdasarkan riwayat para sahabat, tabien, dan tabi’ tabien
4. Syarat dan Adab Penafsir Al-Qur’an
Untuk bisa menafsirkan al-Qur’an, seseorang harus memenuhi beberapa kreteria diantaranya:
1. Beraqidah shahihah, karena aqidah sangat pengaruh dalam menafsirkan al-Qur’an.Tidak dengan hawa nafsu semata, Karena dengan hawa nafsu seseorang akan memenangkan pendapatnya sendiri tanpa melilhat dalil yang ada. Bahkan terkadang mengalihkan suatu ayat hanya untuk memenangkan pendapat atau madzhabnya.
2. Mengikuti urut-urutan dalam menafsirkan al-Qur’an seperti penafsiran dengan al-Qur’an, kemudian as-sunnah, perkataan para sahabat dan perkataan para tabi’in.
3. Faham bahasa arab dan perangkat-perangkatnya, karena al-Qur’an turun dengan bahasa arab. Mujahid berkata; “Tidak boleh seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berbicara tentang Kitabullah (al-Qur’an) jikalau tidak menguasai bahasa arab“.
4. Memiliki pemahaman yang mendalam agar bisa mentaujih (mengarahkan) suatu makna atau mengistimbat suatu hukum sesuai dengan nusus syari’ah,
5. Faham dengan pokok-pokok ilmu yang ada hubungannya dengan al-Qur’an seperti ilmu nahwu (grammer), al-Isytiqoq (pecahan atau perubahan dari suatu kata ke kata yang lainnya), al-ma’ani, al-bayan, al-badi’, ilmu qiroat (macam-macam bacaan dalam al-Qur’an), aqidah shaihah, ushul fiqh, asbabunnuzul, kisah-kisah dalam islam, mengetahui nasikh wal mansukh, fiqh, hadits, dan lainnya yang dibutuhkan dalam menafsirkan.
Adapun adab yang harus dimiliki seorang mufassir adalah, diantaranya:
1. Niatnya harus bagus, hanya untuk mencari keridloan Allah semata. Karena seluruh amalan tergantung dari niatannya (lihat hadist Umar bin Khottob tentang niat yang diriwayatkan oleh bukhori dan muslim diawal kitabnya dan dinukil oleh Imam Nawawy dalam buku Arba’in nya).
2. Berakhlak mulia, agar ilmunya bermanfaat dan dapat dicontoh oleh orang lain
3. Mengamalkan ilmunya, karena dengan merealisasikan apa yang dimilikinya akan mendapatkan penerimaan yang lebih baik.Hati-hati dalam menukil sesuatu, tidak menulis atau berbicara kecuali setelah menelitinya terlebih dahulu kebenarannya.Berani dalam menyuarakan kebenaran dimana dan kapanpun dia berada.
4. Tenang dan tidak tergesa-gesa terhadap sesuatu. Baik dalam penulisan maupun dalam penyampaian. Dengan menggunakan metode yang sistematis dalam menafsirkan suatu ayat. Memulai dari asbabunnuzul, makna kalimat, menerangkan susunan kata dengan melihat dari sudut balagho, kemudian menerangkan maksud ayat secara global dan diakhiri dengan mengistimbat hukum atau faedah yang ada pada ayat tersebut.
5. Perbedaan antara Tafsir dengan Takwil
1. Tentang perbedaan tafsir dan takwil ini banyak pendapat ulama yang perpendat tentang ini, dan dari pendapat ulama itu tidak sama dan bahkan ada yang jauh perbedaan satu sama lain, maka daripa itu bisa kita simpulkan sebagaiberikut:
2. Tafsir lebih banyak digunakan pada lafaz dan mufradat sedangkan takwil lebih banyak digunakan pada jumlah dan makna-makna.
3. Tafsir apa yang bersangkut paut dengan riwayah sedangkan takwil apa-apa yang bersangkut paut dengan dirayah
4. Tafsir menjelaskan secara detail sedangkan takwil hanya menjelaskan secara global tentang apa yang dimaksud dengan ayat itu.
5. Takwil dianya menjabarkar kalimat-kalimat dan menjelaskan maknanya sedangkan tafsir menjelaskan dengan sunnah dan menyampaikan pendapat para sahabat dan para ulama dalam penfsiran itu
6. Tafsir menjelaskan lafaz yang zahir, adakalanya secara hakiki dan adalakanya secara majazi sedangakan takwil menjelaskan lafaz secara batin atau yang tersembunyi yang diambil dari khabar orang-orang yang sholeh.